Foto: Ko ir (papa Nara) |
Paham fanatifisme sudah hadir berabad lalu, dimana paham ini untuk mempertahankan apa yang menurut pandangan benar dan tidak menerima ide atau tanggapan dari pandanga lain, menurut Filsuf George Sentayana, merupakan penulis Inggris mendefinisikan fanatifisme sebagai melipatgandakan usaha dan lupa tujuan utama, sementara Winston Churcill merupakan seorang tokoh politik dan pengarang asal Inggris mengatakan jika seorang fanatifisme tidak akan mengubah pola pikir serta mengubah haluan sehingga tidak mengambil manfaat berpikir positif karena sikap fanatik yang dimilikinya. Begitulah menurut tokoh yang memandang fanatifisme.
Sikap fanatifisme ini sering di temukan di sekeliling kita lewat praktek, semisal pelarangan dalam budaya yang dipercaya secara terun temurun, dan yang paling marak interpetasi fanatifismenya di sebarkan lewat media sosial.
Baru-baru ini, media mempublikasikan sidang putusan Mahkama Konstitusi terkait hasil gugatan Pilpres oleh Prabowo-Sandi, dan tanggal (27-06-2019), putusan tersebut telah memenangkan Jokowi -Ma'ruf selama beberapa hari masa persidangan.
Namun di Facebook, begitu banyak pendukung baik Prabowo-Jokowi saling serang -menyerang pada postingan foto maupun Caption yang sangat menukik, ada yang menulisnya bahagia karena menang lalu menyindir yang kalah, dan sebaliknya. Polemik yang begitu melahirkan sikap saling memusuhi yang sangat disayangkan apabila perilaku ini diinterpetasikan terus-menurus dan mengalir kegenerasi berikutnya. Barangkali akan mengkonstruksi pemikirannya, hanyalah bagaimana cara menjatuhkan lawan dan bagimana cara kekuasaan tunduk di tangannya.
Namun di Facebook, begitu banyak pendukung baik Prabowo-Jokowi saling serang -menyerang pada postingan foto maupun Caption yang sangat menukik, ada yang menulisnya bahagia karena menang lalu menyindir yang kalah, dan sebaliknya. Polemik yang begitu melahirkan sikap saling memusuhi yang sangat disayangkan apabila perilaku ini diinterpetasikan terus-menurus dan mengalir kegenerasi berikutnya. Barangkali akan mengkonstruksi pemikirannya, hanyalah bagaimana cara menjatuhkan lawan dan bagimana cara kekuasaan tunduk di tangannya.
Politik memang begitu, pertarungan politik yang kita saksikan saat ini adalah saling menjatuhkan, politik struktural yang bagi penulis omong kosong saja malah membikin negeri semakin diperparah panoramanya, maupun mahkluk hidup di muka bumi, meskipun nantinya bedah kemimpinan lagi, barangkali tidak merubah kesenjangan sosial yang dilakukan atas kepemimpinan yang sekarang.
Maka perlu kita tanamkan adalah sikap realistis terhadap pilihan kita, setelah kalah dan menang itulah pertarungan politik soal biasa. Kalau pemimpin berbuat kesalahan maka harus dilawan. Bukan saling hujat, dan saling meninggu-ninggikan para tokoh yang dipilih.
Dari tulisan di medsos, pecandu ideologi fanatifisme harusnya dirubah ke perilaku yang positif, harusnya sikap fanatik lebih diarahkan pada masalah sosial yang saat ini memang mungguncang tatanan negeri, apalagi Maluku Utara mengalami krisis ekonomi, di tengah anjoklahnya harga cengkeh dan kelapa. Kalau sikap fanatik ini terus diarahkan ke hal-hal seperti ini, maka segala bentuk penjajahan oleh rezim oportunis bisa dikalahkan dengan persatuan seluruh masyarakat dan generasi muda yang sadar akan kondisi sosial.
- Menurut Robert F Kennedy, kemajuan merupakan kata yang merdu tapi perubahanlah penggeraknya dan perubahan mempunyai banyak musuh. Maka musuh-musuh itulah orang-orang yang senantiasa menghancurkan kesejateraan masyarakat yang harus dilawan.
0 comments:
Post a Comment