Ketika aku jualan sayarun seperti ini, apa ada sosok lelaki yang mau
denganku? Itulah pertanyaan yang sering aku sampaikan kepada Ibu sewaktu
sama-sama berjualan di pasar. Ibuku hanya terdiam pasi, melayani pengunjang
datang membali sayuran. Sementra aku
dengan mimik berpeluh menatap wajah Ibu yang ikut peluh.
Beginilah hidupku, mengandalkan
pasar sebagai tempat pencarian makan, bukan kaya. Saat itu pula, ada banyak
penghinaan, dan cemohan yang nyaris membuatku setengah mati. Tapi yakinlah, itulah bunga-bunga kehidupan,
maka muliahlah dan jangan sekali-kali membalas perbutannya.
Suatu malam, ketika aku jualan di terotoar dekat pantai, tampat
ini kali pertama aku datangi, itupun karan aku dimarahi seorang petugas pasar
ketika aku jualan di pasar tradisional. Pasalnya aku tidak mengikuti aturan,
kemudian sayuranku ditendang bak bola kaki. Duh, jahat Bung.
Begitulah,
aku hanyalah masyarakat awam yang belum tahu tentang seuatu aturan, aku
hanyalah pendatang jauh dari sebrang sana, tujuanku hanyalah menjual daun-daun
hijau untuk keperluan perutku, itu saja. Bukan kemewahan atau apalah, yang
sering diguluti oleh orang-orang yang memakai pakaian tahanan bertuliskan KPK.
Maka tugasmu hanyalah beritahu
aku, itu saja Bung. Aku akan sedikit paham tentang itu, pakailah hatimu untuk ajarkan bukan pakainmu yang
rapaih untuk menghajar. Tugasmu adalah mengawal, bukan melawan.
Di malam yang lengang, aku sibuk
merapikan jualanku yang terisi dalam karung beras, begitupun para penjual
lainya yang ditendang lelaki berambut cepak. Angin malam tepiskan sunyi, dingin
menyelimuti tubuhku, lampu sinar itu menguning, memancarkan cahaya di wajahku yang
mulai lesuh. Asap kenalpot sontak tak kuperdulikan, aku hampir lupa, sehari
sebutir makanan belum terisi, karena sayuranku hanya setengah belih, tak cukup
untuk sebungkus makanan.
Kemudian rupaku berubah jadi
senyum, maka malam menjadi santapan, langit menjadi pengobat sakit perutku,
sebab keindahanlah membuat aku lupa menyantap makanan. Duh, hidup kenapa aku di
bawah, dan orang diatas selalu membikin
aku seolah budak. Seharunya orang itulah mendengar keluhan akar rumput untuk
direalisasi, bukan kemauannya yang dipatuhi.
Kemudian aku hening, dalam pikiranku
ada banyak curahan mengalar sendi-sendi nadi, dan menumpahkan ke dalam dada.
Memikirkan tubuhku diasngkan di negeriku
sendiri, lalu di koyak-koyak semau mereka bahkan dilantarkan pun tak jadi soal.
Bung, aku hanyalah anak pesisir yang jauh dari kota, aku rasa tumbuhan hijauku
bisa bermanfaat oleh orang kota, sebab di sini masih sehat, dan segar. Tak
banyak yang aku harapkan, lima ribu cukup untuk mereka masak dan makan. Aku
bukan kapitalis yang senang menyantap keuntungan.Tidak! tidak terpikirkan sama
sekali Bung. Aku hanyalah rakyat kecil pencari nafkah. Maka bukalah jalanku
untuk jualan Bung.
Bagiku segalan pekerjaan adalah
muliah, apabila kita jauh dari sikap riya dalam
hati. Hingga aku menikmati pekerjaanku,
menampaki jejak bergerliya diatas trotoar pun duduk meneriakan jualan sayuran, bahkan diusir sana-sini oleh lelaki
berpakaian rapih. Dan aku merelekannya semua itu, iyah, karena aku sednri.
Ini
merupakan Satu pengalaman yang sangat menyenangkan bagiku. Dan perjalanan
orang-orang seperti kami merupakan karunia yang harus kami terimah.
Hingga pada kepalaku pun masih saja meliuk-liuk
pertanyaan apakah ada sosok lelaki yang rela berkorban mencintaiku, dengang
kondisi kian meris, barangkali ketika melihat wajahku dibumbuhi peluh, baju
bernoda, dan kerudungku yang lesung sontak membuat lelaki pergi meninggalkanku.
Ah, sudahlah apa aku sudah gila! Memikirkan hal itu. Sudahlah, lebih baik kututupi
jualanku dengan karun beras, kemudian berjalan ke arah beberapa radius, ada pasar tradisional di sana, lekaslah aku
tidur diatas tumpukan jualan sebab, hari sudah sangat larut, dan sepertinya
hujan mulai turun satu persatu.
Tentang
lelaki dan pertanyaanku kepada ibuku
lupakanlah. Yakinlah akan ada sosok lelaki kelak begitu mencntaiku apa adanya, dan
tentunya menyangiku sepenuh hati. Maka aku tak boeh rapuh dalam menjalankan
hidup, aku tak boleh gegabah, serta sabar menghadapi ancaman di mana saja
ketika itu ada. Sesungguhnya aku tak perna malu dengan hidupku yang serba
kekurangan, aku sadar bahwa aku dibesarkan diantra ombak yang amuk dan hutan
belantara, dan tentunya ketika seseorang datang meminta cinta dariku, maka
sangtlah teguh hatinya mencintai perempuan penjul sayur di pasar. Dan
barangkali lelaki itu adalah kamu, iyah kamu.
Keren thaty
ReplyDeleteBerterimakasihlah pada hidup
Ini dunia bukan surga, kita harus berusaha, bekerja, baca & berlawan.