This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Monday, July 8, 2019

Haliyora

Thet


Di bawa langit, sehabis hujan, awan nampak tenang aku melayari lautan, menatap laut dengan gelombang
Membuat perahu oleng, aku mamandang kira-kanan, orang-orang nampak sibuk berbincang, tentang apa dibahas aka tak mafhum.

Aku menatap gunung dari kejauhan terlihat hijaun, di ujang gunung terbungkus awan menggumpal, begitu tenang memandangnya berulang kali, dan yang terpikirkan hanyalah Halmahera sungguh menggelorakan.

Ombak masih memukul sampan, aku sedikit takut, sebab dari sekian kerumunan, tak ada yang aku kenali, aku beradu dengan kata-kata, di dudukku yang sendiri dan awan mulai menutup cahaya matahari, ternyata hujan masih basah. Rintikan sedikit demi sedikit hinggap di kepala dan wajah dan seterusnya.

Angin berpapasan masuk ke pori-pori, dingin begitu terasa di bibir yang gemetaran, di telapak kaki ia menyasar.
Sampan masih saja berlayar menuju tujuan, lagu ambon dan Tobelo begitu  nikmati di telinga orang-orang, tertidu, ada yang tidur dan juga duduk bengong, barangkali tersentuh oleh musik dan kalimat-kalimat yang menyayat hati.

Ternate nampak semakin jauh, perjalan mengajak  dekat ke Haliyoara  tentang apa yang ku tuju, semakin aku memenuhi sedikit rencana yang sudah ku kekemas  dalam mimpi. Bukan lagi harapan.

Saturday, July 6, 2019

Selama Badai Berlalu


Thet



 ini bertemakan gelisah, tentang aku yang mulai posesif, tentang aku tak lagi percaya akan diri ini.  Kemarin barangkali aku mulai malas menemukan sejuta keingintahuan akan sesuatu itu.

Semakin orang-orang perduli padaku, aku mulai melihat diriku detik ini penuh pekat, malam dengan angin pelan-pelan  menghantam rantai pohan, suara dentuman ranting  cukup jelas di telinga. Sekali lagi pikiran terus mengguyur tubuh  tentang   beberapa makna  tak lagi terpecahkan di antara batas-batas gelap dan terang.

Perjalanku sedari tadi ialah menuju kepemahaman, pada mereka begitu  banyak menyalurkan potongan-potongan bahasa lalu mengubah cara memahami hidup, barangkali saban lalu aku seperti  berleha-leha menyusuri duniaku .

Arloji  bergerak cepat, aku mulai sedikit memahami pernyataan tersebut, dalam kalimat terlontarkan.  Aku tak lain hanyalah biasa-biasa saja, kadang aku terlalu lupa tuk mengingatnya, terlalu lama  bangun dari tidur-tidur begitu  nikmat,  kemudian terlalu sedikit aku mafhum akan deretan aksara

Harusnya aku lebih sabar menerima proses, harusnya aku lebih tabah memahat hidup. meski harapan tak sesuai kenyataan, tapi usaha  motifasi tinggi tentunya  mempengaruhi  segala capaian seraya menuju puncak tajuk.

Selama langit masih memutih, pelangi masih menghiasi semesta, hujan masih berhenti, badai pasti kan berlalu, teruslah membunuh kejenuhan dengan menyalakan lantera  sembari terangkan di sudut penuh kegelapan.





Sunday, June 30, 2019

Pecandu Fanatifisme

Foto: Ko ir (papa Nara) 



Paham fanatifisme sudah hadir berabad lalu,  dimana paham ini untuk mempertahankan apa yang menurut pandangan benar dan tidak menerima ide atau tanggapan dari pandanga lain,  menurut Filsuf George Sentayana,  merupakan penulis Inggris mendefinisikan fanatifisme sebagai melipatgandakan usaha dan lupa tujuan utama,  sementara Winston Churcill merupakan seorang tokoh politik dan pengarang asal Inggris mengatakan jika seorang fanatifisme tidak akan mengubah pola pikir serta mengubah haluan sehingga tidak mengambil manfaat berpikir positif karena sikap fanatik yang dimilikinya.  Begitulah menurut tokoh yang memandang fanatifisme.

Sikap fanatifisme ini  sering di temukan di sekeliling kita  lewat praktek, semisal pelarangan dalam budaya yang dipercaya secara terun temurun, dan yang paling marak interpetasi fanatifismenya di sebarkan lewat media sosial.


Baru-baru ini, media mempublikasikan sidang putusan Mahkama Konstitusi terkait  hasil  gugatan Pilpres oleh Prabowo-Sandi, dan  tanggal (27-06-2019), putusan  tersebut telah  memenangkan Jokowi -Ma'ruf  selama beberapa  hari masa  persidangan.

Namun di Facebook, begitu  banyak pendukung baik Prabowo-Jokowi saling serang  -menyerang pada postingan foto  maupun  Caption  yang sangat menukik, ada  yang menulisnya  bahagia karena menang  lalu  menyindir yang kalah, dan  sebaliknya. Polemik yang begitu  melahirkan  sikap  saling memusuhi yang sangat  disayangkan apabila  perilaku ini diinterpetasikan  terus-menurus dan mengalir kegenerasi berikutnya. Barangkali akan mengkonstruksi pemikirannya, hanyalah bagaimana  cara menjatuhkan  lawan dan bagimana cara kekuasaan tunduk di tangannya.


Politik memang begitu, pertarungan politik yang kita saksikan  saat ini adalah saling menjatuhkan, politik struktural yang bagi penulis omong kosong saja malah membikin negeri semakin diperparah panoramanya,  maupun mahkluk  hidup di muka bumi,  meskipun nantinya  bedah kemimpinan lagi, barangkali tidak merubah kesenjangan sosial yang dilakukan atas kepemimpinan yang sekarang. 

Maka perlu kita tanamkan adalah sikap realistis terhadap pilihan kita, setelah kalah dan menang itulah pertarungan politik  soal biasa.  Kalau pemimpin berbuat kesalahan maka  harus dilawan. Bukan saling hujat,  dan saling meninggu-ninggikan para tokoh yang dipilih. 

Dari tulisan di medsos, pecandu ideologi fanatifisme harusnya dirubah ke perilaku yang positif, harusnya sikap fanatik lebih diarahkan pada masalah sosial yang saat ini memang mungguncang tatanan negeri,  apalagi Maluku Utara mengalami krisis ekonomi,  di tengah anjoklahnya harga cengkeh dan kelapa.  Kalau sikap fanatik ini terus diarahkan ke hal-hal seperti ini,  maka segala bentuk penjajahan oleh rezim oportunis bisa dikalahkan dengan persatuan seluruh masyarakat dan generasi muda yang sadar akan kondisi sosial.


  • Menurut Robert F Kennedy, kemajuan merupakan kata yang merdu tapi perubahanlah penggeraknya dan perubahan mempunyai banyak musuh. Maka musuh-musuh itulah orang-orang yang  senantiasa menghancurkan kesejateraan masyarakat  yang harus dilawan.

Thursday, May 9, 2019

di Tengah Terik Tentangmu

lokasi: Galela

  Aku ingin berhenti mencintai, apa pula yang aku harapakan dari perjalanan tak kenal waktu ini, tidak ada cinta selanjutnya yang tumbuh beranak pinak di hati. Tidak ada lagi kata rindu yang berderet dari mulut, segalanya telah mati di  telan bumi.
Dalam kurung waktu, aku tak ingin mengejar cinta padamu,aku ingin bungkam dan melepas hubungan tak bersyarat ini.

Aku tahu, kalimat itu adalah keresahan, cemburu yang berkecamuk, tapi aku takkan menyalahkan dirimu, sungguh. Biarkan aku sendiri yang keluar dan memahat cinta lainya, di mana pun itu.
Tak ada harapan apapun yang aku dihadirkan dalam hati, pikiran, dalam segala hal, tak ada pula harapan itu aku memunculkan kembali, barlah ia hilang bersama gelap di malam hari, dan kembali menampakan senyum di antara mentari serta detik yang beda.

Panas terik berkecamuk di kamar, peluh bercucuran, aku masih menggerakan jemari mengukir kata-kata, meskipun aku berhenti sejenak, memilih frasa yang pas tuk di lukiskan dalam kertas, kadangkalah aku menampilkan mimik kebingunan, kadangkalah aku harus menghapus peluh di leher, dan tidur sejenak seraya mengembalikan pikiran yang membungkam nan membingunkan.

Namun panas tidaklah menghentikan aku terus menulis tentang saban lalu dan cinta yang pergi.  ibarat sebuah perjalanan aku terhenti di persimpangan. Aku ingin membuat sebuah jalan lain tuk bisa melanjutkan sejarah ini. Maka biarlah cinta itu pergi pada cinta sendiri, biarlah sendiri menjadi teman dalam setiap langkah yang kutuju.
di tengah terik,  masih saja kutuliskan tentangmu dalam bahasa kepergian dan narasi perpisahan.

Tuesday, January 22, 2019

Sepotong Kotoran Dari sebutir pasir


Biarkan cerita ini tenggelam bersama buih di laut, laksaman kerajaan-kerajaan tumbang karena tak mampu menangkis ribuan peluruh yang menusuk ke dada tembok. Di situ semua telah patah seperti anak-anak runtuh karena di asingkan negerinya, gadis-gadis larut dan dibungkam sebab bapak adalah bangsanya.

Kenanglah kekasih, sebelum aku membungkus menjadi barang kanangan yang ditafsirkan banyak orang, dengan rasio yang berbeda-beda. Kenanglah sayang bahwa pada pujaan dan punjangga yang menebar bumbu-bumbu kasmaran kemudian memikat sepenuh tubuhmu, dengan perjumpaan yang manis, membawa pergi kelam bagitu pekat,

Deru ombak mengikis karang di kalbu, membawa risalah ke laut yang dalam, tempat di mana tak terjama, oleh mulut tak lagi membaca, dan jemari lupa menggambarkan sosok misteri buruk menetap  di segumpal daging yang dekat dengan sedih dan senang.


Sudihkah diriku membuka mata batin, lalu memperlihatkan sebutir pasir tuk diputihkan jadi suci, agar langkah tak membawa sepotong kotoran dari pasir, lalu bahasa  jadi tajuk kedamaian di karang yang menahan ombak, di tengah riak-riak hidup selangkah lebih menghargai kisah bukan memporak porandakan setiap yang melayari

Belajar membenah diri.


Friday, January 11, 2019

Lengang







foto; Afni


Di malam yang hening, aku titikan setiap perjalanan yang menghasut berlalu, di deru sejarah bertolak dan paras masih menuntun bertahan di bawa daun-daun kering. sekuntum kembang hinggap di bahu, pesona dan baluran kasmara bagitu membangunkan aku pada sesuatu yang tak terelakan, tak jauh dari hati, meskipun pergi, ia kembali pada pintu ketulusan yang disebut ramah.

di bawa jendela, ku rebahkan diriku dengan segenap rasa yang melara, didenting-denting musik, aku luruhkan segala wajah nan sayu di rambut gerai berantakan, pipi nan tirus, tatapan yang semeraut, berbalut luka masih basah.

Di dinding-dinding, aku menatap penuh ringkih, dengan sejenak mimpi yang hampir pata di tengah gejolak yang membara, di pintu kamar, aku melirik sedih penuh rasa, dengan iming ialah hadirmu menggetarkan sukma, menghampiri penuh tanya dengan tatapan penuh iba.

 Akankah tanya telah kau rangkai dengan bagitu banyak gejolak yang di taburi benih-benih, lalu tumbuh setangkai batasan antara melapas atau memapas setiap kata. Adakah setumpuk pupuk mematikan benalu yang hadir, di tengah hiruk-pikuk? sebatas aksara itu telah meperkenalkan pada sebuah rasa mematikan ini.

semakin lengang malam ini, suara musik semakin terasa, di tubuh kalimat aku merangkai kata, agar bisa menemukan hatimu yang tulus lewat tulisan