This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Thursday, October 4, 2018

Kau Lerai Dimataku


lokasi: Tanjung Bongo




Aku tak pandai berbicara tentang kasih sayang dan cinta,  di setiap kalimatmu menerpa,  bianglala seolah mengiasi hati yang diam-diam memahamimu
Yang sabar memperhatikanmu,  yang sendiri membicaraknmu,  di atas kata-kata meskipun patah berulang kali.

Telah banyak mimpi perpigura di dindingg-dinding kalbu.  Walau itu hanyalah khayalan tak pasti,
Sebuah kepastian dibuat-buat telah menenggelamkan dalam asmara yang membara. Aku sontak terbakar oleh api cinta, sungguh pedih. Kali ini,  semisal jembatan yang roboh diterpa banjir dan badai asmara.

Aku gagal,  sebab kau lerai di persimpangan jalan yang cukup jauh,  jalan telah kita lewati bagitu lama.  Tidakah aku tanyakan,  apakah kau tak lelah membangun rumah kenangan dengan jalan yang bedah? Sungguh,  aku tak ingin menyalahkanmu dengan keselahan tak pasti pada kebenaran.

Aku rasa kau benar dan aku salah,  itu cukup bagiku. Sebab aku tak ingin mencari kesalahan diatas mimpi yang patah nan salah.

Saturday, May 12, 2018

Seperti Malam Dalam Duri



Foto: Nila Sari
Lokasi Taman Nukila Kota Ternate




Aku tak tahu menafsirkan kesendirian, saat banyak beriforia, bahagia, dan tertawa lantang di luar sana, bermandikan malam dengan pesona hura-hura di tengah arak-arakan. Musik menyampaikan kalimat kegembiraan, kesenangan adalah miliknya.

Kutahu aku mengekang di sedut kecil, dengan sakit di dada, seperti angin berkecamuk, marah menghantam tubuh. Mengobrak-abrik nadi, sebagian tubuh yang lama tersusun rapi. Aku patah dan lelah.

Hambar, jelas memanggil sunyi, sepi bertamu, aku sembilu membisu, seperti di lembah tak berujung, dan jurang hanyalah gemuruh. Aku terpana oleh kata yang bernama sendiri, serta terhalang oleh diriku sendiri, kemudian terkungkung oleh ruang dan masa. Akan kah aku sebut ini jeruji besi? Tak,

Masihkah larik-larik membelah bianglala di wajahku, saat pedih masih melekat, ketika aku menjelma gadis paling lugu dan bodoh. Bahkan! Pelupa.

Baiklah, aku rasa tak ada jawaban yang  indah menampar diriku malam ini. Dan lagu malu itu masih mengiang telinga. Ada syarat dan makna didalamnya, barangkali tentang aku yang kekang sendiri. Seperti malam tak lari dari waktunya, dan aku tak lari dari hujan.

Sudah berapa lama aku di sini, menitikan seruan dalam sukma, mengalirkan lewat jemari. Kemudian aksara menyambung, sebuah kalimat panjang terurai. Lagi-lagi tentang aku meratapi malam dalam duri.

Duh, jangan kau anggap aku tertati letih, jangan kau kira aku si dungu, sebab aku menulisnya dengan bahasa hati. Aku hanya ingin kau membacanya, agar kau tak seperti diriku. Aku ingin kau menghayatinya, agar kau tahu, di sini, dalam kondisi tak memungkinkan, aku masih siap tegap melangkah. Meskipun terjatuh berulang kali.

Sesungguhnya, dibalik mengekang, ada senyum tersembunyi, karena telah kukeluarkan kegelisaanku lewat tulisan ini. Tulisan tak bersyarat.


Ternate 12-05-2018


Monday, April 30, 2018

Purnama Dan Sendiri Membisu



Purnama munjukan keindahan, gemintang begitu nyata terlihat, dan hujan masih basa aku memandangnya sejenak, membayanginya, betapa menyenangkan saat menengadah. Kali ini, aku benar-benar sendiri, tak ada siapapun, namun tak kubiarkan kesendirian menggerutu lalu sedih pecah di sini. Langit merupakan temanku, teruntuk malam ini.

Aku senyum, ketika menatap beberapa kali, meskipun tak berlansung lama, sedih muncul seperti mengganti senyumku yang baru aku mekarkan. Tentang apa yang aku pikirkan, sesuatu yang sampai saat ini belum tertuntaskan, tak baik bila mengurikannya di sini. Sungguh mengganti musim senyumku sesaat, lalu merubah rautku menjadi sedih memilukan.

Baiklah, harusnya aku membuang jauh-jauh ingtan yang datang tiba-tiba, karena kalau dibilang jujur, aku tak mua sendiri, tapi apa boleh dikata, malam ini, sepertinya aku bernasib sendiri bertemakan sunyi, purnama membisu.

Kucoba membuka membuka kembali, sebuah novel di sampingku, pikiranku tak lagi konsen, sebab pikirankanku masih tertuju pada sesuatu yang membuatku takut. Awalnya aku merasa senang, seperi tertulis di catatan pertama, namun entah kenapa,  aku merasa, malamku, haruskah  bersetubuh dengan  kesedihan.

Akankah aku bisa melarainya, dengan merubah pikiranku menjadi nyaman, barangkali dengan membayangi sesuatu yang menyenangkan, agar senyumku merekah, tapi apa yah? Sungguh mengingat dirimu tentunya, tawamu, dan kebaikanmu, siapapun kamu.

Ah, dari pada mikirin sesuatu yang aneh, aku kembali membuka buku bacaanku, setidaknya ada sesuatu yang baru aku temukan di dalamnya.
Setidaknya aku bisa mengasah otoku agar tak terfokus pada sesuatu, agar pelan-pelan lerai seketika.

Dan purnama, temani aku, agar aku mampu menaklukan malam, diatas gentingnya cerita memilukan, tutupi dengan cerita yang ditulisakan dengan buku ini, agar aku tak hanya hambar dalam hayalan.

Purna dan bintang, aku aku melihat cahaya indahmu di atas. Semoga aku mampu menciptakan itu, dan kembali ke buku bacaanku lagi. He

Thursday, April 26, 2018

Pengakuan






Aku tidaklah tahu, tentang rasa terpacar itu, tentang iming-iming terlontar di setiap waktu, pengakuan dan pengharapan bergantungan di mata. Semenjak pangakuan tumpah ruah di hadapanku, aku bungkam, namun tak kubiarkan lama di dalamnya.

Kususun kembali makna tertera dengan rapi, semenjak tulisan saling melempari tujuan, perihal, dan pengakuan yang menggebu di hati. Aku mencintai siapa saja didekatku, tapi tidak mengiklaskan hatiku menyakiti siapapun yang dulu mencintaku. Sebab, menyianyiakan orang yang benar-benar perduli adalah Impossible bagiku.

Tentang rasa, kuharap itu hanyalah semu. Perihal hasrat, kusemogakan beruba pada rupa digariskan Tuhan. Maka keluarlah, segalanya akan baik-baik saja. Saat keyakinan menjera kepadamu, tak hanya ini, bahkan lebih, sungguh lebih indah dari ini.

Sebuah detik bergirliya, dan kejadian tak terduga tak terpikirkan sama sekali, tiba-tiba hadir, menjadi bunga-bunga dalam khayalan. Sesekali aku hampir tak percaya, namun sekenario yang dibuat, entah dia ataukah sudah jalannya menuju ke sini. Kemudian yang terungkap adalah sebuah pengakuan.

Sesunguhnya, ketika kamu berpengakuan, biarlah kuukir sejauh mana prinsip dan komitmen mempertahankan itu, dan apabilah aku kalah, maka aku gagal bertahan, dan tak tahu kepada siapa aku berteduh. Apabila aku mampu, maka aku telah menepati satu pengakuan yang terterah dalam kertas putih.
😊

Kita adalah rahasia yang belum terungkap, dan sampai kapanpun kita tak tahu, siapa yang nanti menjadi pemilik.

Ternate, 27-04-2018





Wednesday, April 11, 2018

Sebuah Desa dan Dosa

                         
Tepatnya pukul 17-30 Wit, saat aku duduk di depan kamar koskosan, dengan mengotak-atik HP kesayanganku. Tiba-tiba 2 pesan Massenger masuk, yang satu adalah pesan grub dari teman-temanku, dan satunya lagi pesan dari kawanku, sebut saja Refail namanya.

"Assalamualaikum. Kawan T posisi.?"  Sebuah pesan sebagai pembuakaan dari Refail

'Waalaikumsalam, Ada di kosan nii..
Ada perintah?" Balasanku

Tiba-tiba, "Cee sudah tra jadi dah,"

"Ohh iyah daa.. Kog di mana ni?" Tanyaku.

"Di beskem ini."

Setalah beberapa menit, ia inbox aku lagi bagini "Ada kasus menarik yg perlu di angkat ke mata publik ini kawan T."

Dengan bagitu penasaran, aku lansung membalasnya "Soal apa?
Ente di mana? Nanti ana merapat."

"Ana ada di tamang pe kosan.
Biar ana merapat di kawan T dah.
Barang ana di kompleks dorang kawan Ririn pe sebelah kosan."

Dengan balasan di atas, itu artinya aku harus menunggu. Entah berapa lama itu, meskipun berat, eyaa...Dilan lagi kan.

Baiklah sambil menunggu si Refail,  akupun menulis sebuah berita, dari DPRD Kota Ternate, tentang LPJ anggaran 2017 dan masih banyak lagi yang kulakukan, mulai dari membaca novel, makan, dan lain-lain.

Ketika aku sedang tidur di kasur kecil bersama adikku, dengan suasana malam yang sangat gelap. Iyah, gelap. karena di sini lampu sedang padam, hanyalah senter HP menjadi penerang dalam kegelapan.

Tak lama kemudian ada suara salam dari luar. Iya siapa lagi, kalau bukan si Refail, dengan mengenakan pakain coklat, dan celana jens panjang.

"Kamari denga sapa?" Tanyaku

"Sandiri." Jawabnya spontan

Kupersilahkan ia duduk. Kita berdua pun duduk melantai, di depan kami berdua, ada sebuah Penanak nasi, 3 buah gelas, yang satu berisikan air, dan 3 ekor ikan julung Fufu yang terisi dalam tas.

Tak lama kemudian, Rifeal mengadu tentang kegelisahan dan keresahan di desanya. Aku bisa melihat matanya penuh dengan masalah hendak tak terselesaikan. Di otaknya semacam ingin sekali mengatasi masalah, sebab ia tak mungkin sendiri  melawan. Maka kawan-kawan sebagai solusi dalam masalah.

Ini tentang desaku, di pulau panjang Halmahera, di sana Kepala Desa kami sedang memakan uang rakyat, bahkan ada banyak keluhan masyarakat, sebab tak hanya Kepala Desa, tetapi seluruh Staf dan RT.  Besok desaku akan melakukan rapat, hanya saja mereka ingin menghadirkan wartawan agar publik tahu, tapi aku rasa, tendesi konflik sangat tinggi di sana, sebab masyarakat tak sanggup melihat perilaku orang-orang oportunis.

Bahkan selama dua periode kepemimpiannya infrastruktur desaku tidak memadai. Aku harap ada pihak terkait yang mau memproses tentang kasus ini serta yang mau mendengarkan dan merasakan jeritan desaku.

Sementara aku, diantara sedih bercampur emosional, aku sungguh marah, betapa masyarakat desa dibohongi habis-habisan, dengan memakan yang bukan miliknya. Apalagi Refail bilang, katanya, di sana, selama 27 tahun, Kamis (12-04-2018), baru diadakan rapat. Ya ampun kemana saja orang-orang di sana, katanya negara demokrasi, kok, rapat saja tidak perna dilakukan. Terus selama 27 tahun itu, apa yang dilakukan.

Praktik-praktik korupsi tidak hanya ada di atas atasan saja, di bawa pun ada. Ini karena, orang-orang cerdas berlaga gila senantiasa memberikan contoh tidak baik terhadap negeri ini. Sehingga memakan uang masyarakat adalah sesuatu yang lumrah. Semakin hari tambah marak. Jangan menambah desa kecil nan permai dengan dosa orang-orang.

Sesungguhnya memakan yang bukan hak kita adalah haram hukumnya. Biarlah aku miskin, biarlah aku tak makan, akan tetapi, janganlah memakan yang bukan hak kita.


Ternate 11-04-2018




Sunday, March 11, 2018

Coretan Kertas Putih




Aku ingin meramu kata saat tak ada yang aku lakukan, menceritakannya pada hati yang sembilu, kemudian menyimpan baik dalam kotak kenangan. Aku ingin banyak melahirka cerita saat aku mengikis jalanan dengan benturan, menerawang dengan banyak bertanya kemudian mengurainya denga tinta kedalam lipatan kertas putih.

Seketika tubuhku rebah, kurasa aku tak berarti apa-apa, tak bisa berbuat untuk orang banyak, duduk memekarkan senyum dari segala yang indah. Pada setiap yang datang memberiku senyum, meluluhkan air mata kebahagian, bagitu banyak syukur keluar dari mulut. Tiada yang lebih baik, saat meringankan beban orang lalu memberinya senyum ramah-ramah.

Meskipun kadang aku melihat mereka yang samar, di lorong-lorong waktu, aku mencintanya bak mereka menyangi orang-orang terkasih, aku memeluknya
 pada jarak terbilang jauh, agar mereka tahu, di dunia ini, sesuatu paling mambahagiakan adalah mencintai orang-orang di sekeliling kita, menjaga seperti melindungi diri sendiri, mengingatnya pada setiap kata-kata salah patah terbengkalai.

Aku mencintai cinta yang utuh, tidak pada satu yang kutuju, namun pada semua yang mengenaliku. Senantiasa kukeluarkan kasihku ini, bukan semata-mata aku baik, sesungguhnya, aku diajarkan sedemikian rupa, dari segala tuntunanku pada orang-orang yang mengajariku arti sebuah perjalanan kian menyenangkan apabila khayalkan.

Kadang, seketika aku memikirkan kembali dari  jalan terarungi, dari titik nol hingga sebesar ini  sungguh banyak terlewati dan indah. Ah, aku sangat konyol, dan bagitulah, banyak pelajaran yang aku simpan, sebagai catatan perjalannku selanjutnya.

Maka kali ini, aku memulai lagi dengan meramu segenap rasa dalam diam-diam, tentang cahaya yang memudar dan malam berterangan di bawah lampu. Sejenak kusandingkan sendiriku dengan memecah teka-teki, entah aku tahu ataupun tidak, entah ada dan tiada, hanyalah menera-nerka pada kebenaran dan kesalahan, bahwa aku masih tetap menulis. Meski dalam keadaan terpuruk, dan senang menjalar ialah aku dan hidup ini.


Sembari aku duduk dan menuliskan, senyum masih merekah di pipi, tentang rasa  dahulu untuk asaku, kuramu jadi deretan kalimat. Sungguh hanya inilah yang bisa kupersembahkan saat ini.

Ternate, 11 Maret 2018

Thursday, January 18, 2018

Jumat dan Langit Kelabu


Aku menuliskan hari ini, tentang awan kelabu menutup langit. Tentang hujan dan angin semalam selimuti kota. Berguguran daun-daun dan tangkai patah penuhi pelataran. Banjir mengikuti selokan, serta roboh beberapa gedung.

Orang menyebutnya Januari; musim penghujan, tentunya ada angin di sini, Mereka seolah kompak setiap waktu, setiap sampaikan pesan kesombongan, pun keindahan yang sering orang sandingkan dengan cinta.

Pagi ini, wajah orang-orang seolah cemberut, entahlah, barangkali perkara dingin menyusup tubuh, sehingga memilih berdiam di kamar kecil, wajah murung memberikan pesan, barangkali soal awan kelabu di langit, ataupun menyamapikan kalimat rindu terhadap mentari. Sudah beberapa hari, matahari semacam sembunyi di balik tirai, barangkali ia lelah, terlalu setia memberi kilauan cahaya.

Sedang aku, hanyalah menuliskan lanscap dan orang-orang di sekitarku, aku duduk menikmati suasana ini.

Arloji menunjuk ke arah 11-30, tepatnya Jumat, dalam agama, Jumat adalah kepala dari segala hari. Suara lantunan Al-Quran, keluar dari Rumah Tuhan, mesikipun aku tak terlalu mafhum tentang ayat-ayat yang disampaikan, tapi aku yakin, kalimat rahmatanlilalamin dapat menembus hati manusia yang percaya tentang eksistensi-Nya. Mendengarnya, bagai sutra lembutnya.

Ah, semacam air mata pecah, saat aku sesekali menunduk dan berkontemplasi. suara dari surau sangat, sangat menyentuh sukma, mengingatku tentang jahilku dulu. Astagfirullah.

Masih tentang langit kelabu, matahari sembunyi di balik awan, angin masih pelan menghadang wajahku, dingin mulai memudar, peluh sedikt demi sedikit mulai keluar. Namun sepi masih menempel di dada, aku tak tahu menguraikan sepi, tapi rasa itu ada dalam diri. Dengan wujud pun tak berwujud, aku tak tahu. Tersebab orang sering mengartikan sepi itu tak ada, namun ketika merasaknya ia ada. Sudahlah, intinya, aku merasakan sepi di bawah awan putih abu-abu.

Duh, menyajikan aksra di musim hujan sangat menyenangkan, sungguh. Maka sepenggal kata ini, telah menceritakan keadaan ini, meskipun tulisanku tak sebagus penulis handal, aku hanya ingin menulis dan menyampaikan lewat kata-kata yang kuuraikan.

Setelah menuliskan ini, aku beringsut ke kamar dan melanjutkan aktifitas selanjutnya.

Kalimat terakhir dariku "Jalankan aktifitas dengan ikhlas, dan selalu ikhtiar serta marilah mengingat Tuhan, di manapun kita berada, dalam keadaan apapun, sebab Tuhan mencintai orang-orang yang mengingatnya." Maka semoga dimudahkan.

Bersambung.....
Nantikan tulisan saya selanjutnya. (Hehehe).








Sunday, January 14, 2018

Gadis Khayalan


  Aku duduk dengan kaki menjutai, meskipun tak ada purnama, bintang masih saja menjadi penawar senyum. Ketika angin menyusup tubuh, memandang langit yang jenuh melihatku, namun masih menyimpan ke indahan yang memukau.

Aku masih saja menuliskan puing-puing kelabu yang menepi di tubuh, menyajikan dalam setiap inci demi inci, agar aku tahu, bahwa sedari dulu, setiap perjalan mencari tahu, aku banyak mengisahkan waktu memakan luka dan tangis. Aku menempelkan kebahagian di tubuhku saat duduk dengan kaki menjuntai di sebuah swering kecil yang senang aku jumpai. Memandang laut menepuk tepian, gunung yang diam-diam menyaksikan; air mata, dan rona wajah yang berubah-rubah pada setiap petang.

Maafkanlah, rindu ini membuncah saat aku duduk sendiri, lalu bayangan suci suram menyerang otakku. Betapa kaki bergirlya cukup jauh, betapa kaki melangkah dari hura-hura menjadi huru-hara. Sadarikah itu, ilmu dunia mana lagi yang aku pelajari, agar aku tak sediam ini manjalani kasih-kisah dalam badai dan berlalu.

Dalam percakapan ini, sunyi sangat menyelimuti dinding-dinding malam, lampu menerangi setiap kamar yang tinggal, aku duduk di kursi panjang, tak hanya menatap langit yang diam, namun mendengar suara-suara orang bercakap di balik kamar kecil, yang mereka anggap rumah. Aku tak perlu banyak tahu tentang yang dibicarakan, sebab mereka seolah bergumang.

Angin pelan itu terasa dingin, bahkan kakiku ikut meresapi, mesikipun badanku terselimut Jaket. Kuingin tiupan kecilnya adalah pesan dan kesan yang dalam, pohon mengayunkan daun, semacam ingin menyamapaikan kesakaian malam ini. Entahlah!.

Maka, ketika memandang pohon bergoyang, aku ingin memetik lalu menuliskan kalimat-kalimat tentang aku dan perjalanan ini, tapi tak mungkin, daun hanya akan berguguran pada saatnya tiba, maka biarlah senantiasa kutuliskan kisahku dalam memo, biarlah menjadi cerita dari generasiku, ketika membuka lembar demi lembar.

Iyah,
Hidup tentunya ditenunkan dengam cinta, jika ingin memetik bintang. Tiada yang harus di kerjakan dalam merenung; bila duka, tawa, dan serumpun orang-orang yang mengenaliku membawa masa di mana aku menjadikan diriku menjadi aku. Bukan dia, bukan pula kamu. Maka, dalam proses ini, adalah ganjaran dan pelajaran yang mengetuk pintu selanjutnya. Barangkali aku hanyalah gadis pengkhayal, yang senang menggalih memori, lalu duduk melukiskan dalam bisu. 😊