This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Thursday, January 18, 2018

Jumat dan Langit Kelabu


Aku menuliskan hari ini, tentang awan kelabu menutup langit. Tentang hujan dan angin semalam selimuti kota. Berguguran daun-daun dan tangkai patah penuhi pelataran. Banjir mengikuti selokan, serta roboh beberapa gedung.

Orang menyebutnya Januari; musim penghujan, tentunya ada angin di sini, Mereka seolah kompak setiap waktu, setiap sampaikan pesan kesombongan, pun keindahan yang sering orang sandingkan dengan cinta.

Pagi ini, wajah orang-orang seolah cemberut, entahlah, barangkali perkara dingin menyusup tubuh, sehingga memilih berdiam di kamar kecil, wajah murung memberikan pesan, barangkali soal awan kelabu di langit, ataupun menyamapikan kalimat rindu terhadap mentari. Sudah beberapa hari, matahari semacam sembunyi di balik tirai, barangkali ia lelah, terlalu setia memberi kilauan cahaya.

Sedang aku, hanyalah menuliskan lanscap dan orang-orang di sekitarku, aku duduk menikmati suasana ini.

Arloji menunjuk ke arah 11-30, tepatnya Jumat, dalam agama, Jumat adalah kepala dari segala hari. Suara lantunan Al-Quran, keluar dari Rumah Tuhan, mesikipun aku tak terlalu mafhum tentang ayat-ayat yang disampaikan, tapi aku yakin, kalimat rahmatanlilalamin dapat menembus hati manusia yang percaya tentang eksistensi-Nya. Mendengarnya, bagai sutra lembutnya.

Ah, semacam air mata pecah, saat aku sesekali menunduk dan berkontemplasi. suara dari surau sangat, sangat menyentuh sukma, mengingatku tentang jahilku dulu. Astagfirullah.

Masih tentang langit kelabu, matahari sembunyi di balik awan, angin masih pelan menghadang wajahku, dingin mulai memudar, peluh sedikt demi sedikit mulai keluar. Namun sepi masih menempel di dada, aku tak tahu menguraikan sepi, tapi rasa itu ada dalam diri. Dengan wujud pun tak berwujud, aku tak tahu. Tersebab orang sering mengartikan sepi itu tak ada, namun ketika merasaknya ia ada. Sudahlah, intinya, aku merasakan sepi di bawah awan putih abu-abu.

Duh, menyajikan aksra di musim hujan sangat menyenangkan, sungguh. Maka sepenggal kata ini, telah menceritakan keadaan ini, meskipun tulisanku tak sebagus penulis handal, aku hanya ingin menulis dan menyampaikan lewat kata-kata yang kuuraikan.

Setelah menuliskan ini, aku beringsut ke kamar dan melanjutkan aktifitas selanjutnya.

Kalimat terakhir dariku "Jalankan aktifitas dengan ikhlas, dan selalu ikhtiar serta marilah mengingat Tuhan, di manapun kita berada, dalam keadaan apapun, sebab Tuhan mencintai orang-orang yang mengingatnya." Maka semoga dimudahkan.

Bersambung.....
Nantikan tulisan saya selanjutnya. (Hehehe).








Sunday, January 14, 2018

Gadis Khayalan


  Aku duduk dengan kaki menjutai, meskipun tak ada purnama, bintang masih saja menjadi penawar senyum. Ketika angin menyusup tubuh, memandang langit yang jenuh melihatku, namun masih menyimpan ke indahan yang memukau.

Aku masih saja menuliskan puing-puing kelabu yang menepi di tubuh, menyajikan dalam setiap inci demi inci, agar aku tahu, bahwa sedari dulu, setiap perjalan mencari tahu, aku banyak mengisahkan waktu memakan luka dan tangis. Aku menempelkan kebahagian di tubuhku saat duduk dengan kaki menjuntai di sebuah swering kecil yang senang aku jumpai. Memandang laut menepuk tepian, gunung yang diam-diam menyaksikan; air mata, dan rona wajah yang berubah-rubah pada setiap petang.

Maafkanlah, rindu ini membuncah saat aku duduk sendiri, lalu bayangan suci suram menyerang otakku. Betapa kaki bergirlya cukup jauh, betapa kaki melangkah dari hura-hura menjadi huru-hara. Sadarikah itu, ilmu dunia mana lagi yang aku pelajari, agar aku tak sediam ini manjalani kasih-kisah dalam badai dan berlalu.

Dalam percakapan ini, sunyi sangat menyelimuti dinding-dinding malam, lampu menerangi setiap kamar yang tinggal, aku duduk di kursi panjang, tak hanya menatap langit yang diam, namun mendengar suara-suara orang bercakap di balik kamar kecil, yang mereka anggap rumah. Aku tak perlu banyak tahu tentang yang dibicarakan, sebab mereka seolah bergumang.

Angin pelan itu terasa dingin, bahkan kakiku ikut meresapi, mesikipun badanku terselimut Jaket. Kuingin tiupan kecilnya adalah pesan dan kesan yang dalam, pohon mengayunkan daun, semacam ingin menyamapaikan kesakaian malam ini. Entahlah!.

Maka, ketika memandang pohon bergoyang, aku ingin memetik lalu menuliskan kalimat-kalimat tentang aku dan perjalanan ini, tapi tak mungkin, daun hanya akan berguguran pada saatnya tiba, maka biarlah senantiasa kutuliskan kisahku dalam memo, biarlah menjadi cerita dari generasiku, ketika membuka lembar demi lembar.

Iyah,
Hidup tentunya ditenunkan dengam cinta, jika ingin memetik bintang. Tiada yang harus di kerjakan dalam merenung; bila duka, tawa, dan serumpun orang-orang yang mengenaliku membawa masa di mana aku menjadikan diriku menjadi aku. Bukan dia, bukan pula kamu. Maka, dalam proses ini, adalah ganjaran dan pelajaran yang mengetuk pintu selanjutnya. Barangkali aku hanyalah gadis pengkhayal, yang senang menggalih memori, lalu duduk melukiskan dalam bisu. 😊