This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sunday, July 16, 2017

Gadis Pasar

Ketika aku jualan sayarun seperti ini, apa ada sosok lelaki yang mau denganku? Itulah pertanyaan yang sering aku sampaikan kepada Ibu sewaktu sama-sama berjualan di pasar. Ibuku hanya terdiam pasi, melayani pengunjang datang membali sayuran.  Sementra aku dengan mimik berpeluh menatap wajah Ibu yang ikut peluh.
                Beginilah hidupku, mengandalkan pasar sebagai tempat pencarian makan, bukan kaya. Saat itu pula, ada banyak penghinaan, dan cemohan yang nyaris membuatku setengah mati.  Tapi yakinlah, itulah bunga-bunga kehidupan, maka muliahlah dan jangan sekali-kali membalas perbutannya.
                Suatu malam, ketika  aku jualan di terotoar dekat pantai, tampat ini kali pertama aku datangi, itupun karan aku dimarahi seorang petugas pasar ketika aku jualan di pasar tradisional. Pasalnya aku tidak mengikuti aturan, kemudian sayuranku ditendang bak bola kaki. Duh, jahat Bung.
Begitulah, aku hanyalah masyarakat awam yang belum tahu tentang seuatu aturan, aku hanyalah pendatang jauh dari sebrang sana, tujuanku  hanyalah menjual daun-daun hijau untuk keperluan perutku, itu saja. Bukan kemewahan atau apalah, yang sering diguluti oleh orang-orang yang memakai pakaian tahanan bertuliskan KPK.
                Maka tugasmu hanyalah beritahu aku, itu saja Bung. Aku akan sedikit paham tentang itu, pakailah  hatimu untuk ajarkan bukan pakainmu yang rapaih untuk menghajar. Tugasmu adalah mengawal, bukan melawan.
                Di malam yang lengang, aku sibuk merapikan jualanku yang terisi dalam karung beras, begitupun para penjual lainya yang ditendang lelaki berambut cepak. Angin malam tepiskan sunyi, dingin menyelimuti tubuhku, lampu sinar itu menguning, memancarkan cahaya di wajahku yang mulai lesuh. Asap kenalpot sontak tak kuperdulikan, aku hampir lupa, sehari sebutir makanan belum terisi, karena sayuranku hanya setengah belih, tak cukup untuk sebungkus makanan.
                Kemudian rupaku berubah jadi senyum, maka malam menjadi santapan, langit menjadi pengobat sakit perutku, sebab keindahanlah membuat aku lupa menyantap makanan. Duh, hidup kenapa aku di bawah, dan orang diatas  selalu membikin aku seolah budak. Seharunya orang itulah mendengar keluhan akar rumput untuk direalisasi, bukan kemauannya yang dipatuhi.
                Kemudian aku hening, dalam pikiranku ada banyak curahan mengalar sendi-sendi nadi, dan menumpahkan ke dalam dada. Memikirkan  tubuhku diasngkan di negeriku sendiri, lalu di koyak-koyak semau mereka bahkan dilantarkan pun tak jadi soal. Bung, aku hanyalah anak pesisir yang jauh dari kota, aku rasa tumbuhan hijauku bisa bermanfaat oleh orang kota, sebab di sini masih sehat, dan segar. Tak banyak yang aku harapkan, lima ribu cukup untuk mereka masak dan makan. Aku bukan kapitalis yang senang menyantap keuntungan.Tidak! tidak terpikirkan sama sekali Bung. Aku hanyalah rakyat kecil pencari nafkah. Maka bukalah jalanku untuk jualan Bung.  
                Bagiku segalan pekerjaan adalah muliah, apabila kita jauh dari sikap riya  dalam hati.  Hingga aku menikmati pekerjaanku, menampaki jejak bergerliya  diatas trotoar pun duduk meneriakan jualan sayuran, bahkan diusir sana-sini oleh lelaki berpakaian rapih. Dan aku merelekannya semua itu, iyah, karena aku sednri.
 Ini merupakan Satu pengalaman yang sangat menyenangkan bagiku. Dan perjalanan orang-orang seperti kami merupakan karunia yang harus kami terimah.
                Hingga pada kepalaku pun masih saja  meliuk-liuk pertanyaan apakah ada sosok lelaki yang rela berkorban mencintaiku, dengang kondisi kian meris, barangkali ketika melihat wajahku dibumbuhi peluh, baju bernoda, dan kerudungku yang lesung sontak membuat lelaki pergi meninggalkanku. Ah, sudahlah apa aku sudah gila! Memikirkan hal itu. Sudahlah, lebih baik kututupi jualanku dengan karun beras, kemudian berjalan ke arah beberapa radius,  ada pasar tradisional di sana, lekaslah aku tidur diatas tumpukan jualan sebab, hari sudah sangat larut, dan sepertinya hujan mulai turun satu persatu.
                Tentang lelaki dan  pertanyaanku kepada ibuku lupakanlah. Yakinlah akan ada sosok lelaki kelak begitu mencntaiku apa adanya, dan tentunya menyangiku sepenuh hati. Maka aku tak boeh rapuh dalam menjalankan hidup, aku tak boleh gegabah, serta sabar menghadapi ancaman di mana saja ketika itu ada. Sesungguhnya aku tak perna malu dengan hidupku yang serba kekurangan, aku sadar bahwa aku dibesarkan diantra ombak yang amuk dan hutan belantara, dan tentunya ketika seseorang datang meminta cinta dariku, maka sangtlah teguh hatinya mencintai perempuan penjul sayur di pasar. Dan barangkali lelaki itu adalah kamu, iyah kamu.